Jumat, 20 Mei 2016

INDAHNYA PENDIDIKAN DI INDONESIA?

image source: merdeka.com
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Pendidikan seharusnya dapat dirasakan semua kalangan. Hal itu juga tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Namun apakah semua warga negara kita sudah medapatkan pendidikan yang sesuai dengan haknya? Sesuai dengan keinginannya? Mungkin kita perlu mengkaji sebenarnya apa yang sedang terjadi di dunia pendidikan Indonesia sekarang.
   Ketika seseorang tidak lulus ujian, atau gagal mendapatkan pekerjaan bergengsi dengan ijazahnya, masyarakat akan memvonis mereka sebagai orang bodoh. Namun benarkah demikian? Benarkah itu merupakan kesalahan para siswa? Tidak, kegagalan tersebut merupakan hasil dari sistem pendidikan negeri ini dan para pelaksananya. Tanpa memperbaiki hal tersebut, hasil yang sama akan terus berulang.

   Masalah pertama terletak pada sistem pendidikan kita sendiri. Selama ini, para siswa di Indonesia masih diwajibkan mempelajari hampir seluruh mata pelajaran hingga akhir SMA, dengan setidaknya enam mata pelajaran diujian-nasionalkan. Pola pikir masyarakat kita masih lebih mengutamakan kuantitas, bukannya kualitas. Mereka baru benar-benar fokus ke satu bidang ilmu ketika kuliah. Akibatnya seorang fresh graduate di Indonesia hanya punya pengalaman belajar di bidang profesinya selama 4 tahun.
   Tak heran jika kemudian lulusan dari universitas dan sekolah-sekolah di Indonesia kalah bersaing dengan lulusan luar negeri ketika melamar pekerjaan. Apalagi di tahun 2015 ini, Asia tenggara sudah menjalankan program Masyarakat Ekonomi Asean yang mengijinkan para orang luar untuk masuk mencari pekerjaan di negara Asean, terutama Indonesia. Mereka tidak punya cukup waktu untuk mempraktekkan apa yang dipelajari di bangku kuliah karena masa SMA mereka dihabiskan dengan melahap seluruh jenis mata pelajaran. Fakta menunjukkan orang-orang yang “bodoh” di sekolah namun memiliki ketertarikan pada satu bidang seringkali lebih sukses dalam kehidupannya dibandingkan para juara kelas dengan kemampuan merata di berbagai pelajaran. Akan lebih efektif jika tahapan SMA di Indonesia diubah sepenuhnya menjadi sekolah kejuruan. Para siswa sejak awal diarahkan untuk memilih jurusan tertentu sesuai keinginannya. Dengan demikian ketika masuk kuliah, siswa tinggal mendalami dan melatih ilmu yang telah mereka pelajari sejak bangku SMA.
   Masalah berikutnya terletak pada guru. Atau lebih tepatnya, mentalitas guru. Mayoritas guru di Indonesia masih memperlakukan siswa sebagai tong kosong yang perlu dijejali ilmu mentah-mentah. Setiap harinya para siswa dituntut untuk menghafal, meringkas, dan menerapkan rumus yang tertulis di dalam buku teks. Saat ujian, mereka diminta untuk menjawab berbagai pertanyaan bernada “apa”, “sebutkan” dan “jawablah sesuai dengan teks”. Tak ada rangsangan untuk berfikir kreatif, tak ada ajakan untuk mengkritisi teori yang sudah ada, tak ada motivasi untuk meneliti sesuatu yang baru. Itu sama saja guru merendahkan potensi siswanya. Seharusnya siswa diajak untuk berfikir kritis dan membahas kemungkinan-kemungkinan baru yang belum ada, menggabungkan pemikiran mereka dengan informasi yang telah mereka dapatkan sebelumnya. Guru juga harus memahami bahwa sekolah bukan satu-satunya tempat untuk belajar. Belajar bukanlah soal berapa lembar PR yang siswa kerjakan setiap minggunya. Belajar adalah melatih otak untuk memahami, berimprovisasi dan berimajinasi. Dan terkadang, ruang kelas tidaklah cukup efektif untuk melatih hal tersebut.
   Masalah berikutnya adalah mengenai para orangtua sendiri. Disadari atau tidak, orang tua di negeri kita seringkali mengekang keinginan anaknya untuk belajar sesuai dengan bakat dan keinginannya sendiri. Si anak dari keluarga miskin atau menengah mungkin berbakat menjadi pemusik atau pemain sepakbola, namun kewajiban untuk menghidupi adik-adiknya dan desakan dari orangtua memaksanya bersekolah di jurusan keguruan demi melamar menjadi pegawai negeri sipil yang lebih pasti dan terjamin pendapatannya.
   Sementara itu, si anak dari keluarga kaya mungkin berminat menjadi seorang arkeolog atau pelukis, tetapi karena harus menjaga nama baik orangtuanya ia terpaksa mengambil pekerjaan yang lebih “bergengsi” seperti dokter atau birokrat. Akibatnya para pemuda kita yang sebenarnya memiliki potensi luar biasa berubah menjadi robot yang bekerja tanpa gairah atau semangat untuk menciptakan sesuatu yang baru.
   Selanjutnya masalah kualitas sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia. Sarana dan prasarana pendidikan masih begitu jauh dari maksimal. Di daerah-daerah terpencil masih banyak siswa yang belajar di tenda-tenda, degung sekolah yang sudah lapuk dan hampir roboh, bahkan siswa harus menantang maut ketika berangkat ke sekolah. Disini dapat kita lihat bahwa pemerintah hanya memfokuskan kualitas di daerah pusat saja dan mengabaikan kesejahteraan para calon penerus bangsa di pelosok yang mungkin lebih memiliki potensi besar untuk berhasil.

   Kekhawatiran lainnya yang sampai saat ini membayangi dunia pendidikan kita adalah maraknya kejahatan intelektual di perguruan tinggi. Menjadikan pendidikan sebagai sebuah prestise belaka sehingga fenomena jual beli gelar pun marak terjadi, atau melakukan segala cara dengan ilmu dam kekuasaan yang dimilikinya untuk menggapai apa pun yan diinginkannya. Sampai-sampai saat ini muncul sebuah pernyataan yang tidak selayaknya kita dengar, bahwa berkembangnya seseorang menjadi sarjana tidak menjamin berkembangnya kepribadian dan tingkat moralnya. Begitu pula dengan biaya yang dibayarkan untuk mendapatkan fasilitas terbaik tidak nampak hasilnya di lapangan.
   Adakalanya pemerintah mengklaim bahwa dunia pendidikan di Indonesia sudah lebih maju dari sebelum-sebelumnya. Akan tetapi fakta di atas sudah membuktikan bahwa problematia dunia pendidikan saat ini sudah semakin kompleks. Karena permasalahan yang sudah menjalar ke ranah politik dan pemerintahan, maka dibutuhkan satu solusi nyata yang bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan itu. karena permasalahan sekarang ini sudah bersifat sistemik, maka dibutuhkan pula solusi yang sistemik. Mungkin saat ini yang menjadi akar permasalahannya adalah penggunaan sistem yang sudah tidak relefan dengan perkembangan zaman dan sudah tidak mampu mengatur dan mengurusi dunia pendidikan Indonesia. maka dibutuhkan sistem terbaik yang mampu menyelesaikan semua ini.

0 komentar:

Posting Komentar